Minggu, 24 Mei 2009

Inginnya Aku Mencintaimu, Ya Rasullullah


Tak kenal maka tak sayang. Itu kata pepatah Melayu. Sedang orang Jawa bilang: Witing tresna jalaran saka kulina. Kedua ungkapan bijak itu jika diterjemahkan secara bebas bermakna hampir sama. Bahwa proses menuju cinta diawali dengan sesuatu yang bernama mengenal. Baik dalam arti kenal secara face to face, atau mengenal dalam arti sejarah hidup orang yang kita cintai. Dulu, hampir-hampir saya tidak mengenal siapa nabi saya. Siapa Rasulullah SAW itu. Padahal saya muslim. Setiap shalat saya selalu baca shalawat. Ini memang sangat keterlaluan. Barangkali karena saya mengenal agama saya tidak begitu detail seperti kawan-kawan yang belajar di pesantren atau di sekolah khusus keagamaan. Hingga, ketika teman saya -yang bekerja di toko kitab- itu memutar shalawat setiap saya ke sana, saya biasa-biasa saja dengan senandung itu. Ketika tahun 90-an para mahasiswa mengejar-ngejar jurnalis dan pengarang Arswendo Atmowiloto, saya juga 'adem ayem' saja. Padahal alasan para mahasiswa waktu itu disebabkan pooling yang dilakukan majalah yang ia pimpin sangat menghina Muhammad SAW. Ia menempatkan Rasulullah di urutan yang kesebelas, persis satu tingkat di bawah nama Arswendo sendiri. Sedang di atas nama Rasulullah ada nama-nama Suharto, Tutut, Zainuddin MZ dan tokoh-tokoh orde baru lainnya. Tak lama kemudian, setelah geger itu, dunia Islam juga di kejutkan oleh novel The Satanic Verses, karya Salman Rusydi. Novel yang ditulis pengarang Inggris kelahiran India itu juga dinilai sangat menghina Nabi kita. Sehingga pemimpin Republik Islam Iran waktu itu, Ayatullah Khomaini, menyediakan berjuta-juta dollar untuk siapa saja yang bisa menemukan Salman, baik dalam keadaan mati atau hidup. Pada saat itupun saya tenang-tenang saja. Tak ada reaksi apapun. Bahkan tak ada rasa apapun dalam diri saya. Seolah yang dihina adalah seorang manusia biasa. Tapi suatu ketika, Allah memperkenankan saya bertemu seorang kawan. Kami berdiskusi soal keagamaan. Di ujung pembicaraan, ia menghina Muhammad SAW. Dada saya hampir meledak. Tangan saya hampir-hampir memukul muka kawan saya itu. Mulut saya ingin sekali berteriak. Namun, sayang saya tidak bisa atau tepatnya tidak punya argumentasi kuat untuk membela keberadaan Nabi saya. Karena pengetahuan saya tentang Muhammad begitu dangkal. Saya menyesal sekali. Sejak itulah saya mulai belajar keras untuk mengetahui dengan jelas dan benar siapa Muhammad SAW itu. Sejak peristiwa itu saya rajin mendatangi kajian-kajian ke-Islaman di sebuah kampus kota saya. Sejak itu saya setiap pagi buta berjalan hampir tiga km untuk ikut mengaji di sebuah pesantren sebelah desa saya. Sejak itulah saya rajin silaturrahim kepada kawan-kawan saya yang aktif di kegiatan Islam kampus. Walau saya sendiri hanya sebagai pedagang kaki lima dan bukan mahasiswa. Alhamdulillah, dari sanalah saya sedikit tahu sosok agung itu, yang Allah dan para malaikatNya saja bershalawat pada beliau. Figur seorang pemimpin yang ketika anaknya minta dicarikan pembantu rumah tangga, justru sang anak diberikan amalan agar selalu bertasbih, bertahmid dan bertakbir saja. Tokoh sederhana yang ketika ditawari emas sebesar gunung Uhud, justru memilih keluarga dan akhirat saja. Pemimpin para da'i yang ketika dilempari batu di Thaif membalasnya dengan melempar senyum dan mendoakan kebaikan. Sang 'Abid, yang dijamin masuk surga tanpa hisab, tapi masih berdiri kokoh di waktu malam untuk beribadah sampai kakinya bengkak-bengkak. Orang mulia, yang ketika mendekati ajal, yang beliau sebut-sebut bukanlah istri, anak atau keluarga lainnya, tapi justru umatnyalah yang beliau sebut-sebut. Membaca itu semua, saya jadi teringat perkataan imam masjid di kampung saya dulu ketika mau mengajarkan sejarah nabi. Ia berkata: Mari kita belajar mengenal Nabi kita. Belajar megenal bagaimana tingkah laku pemimpin kita. Dengan mengenal itu semua, kita akan menjadi cinta pada beliau. Dan dengan demikan akan mudah untuk melaksanakan apa yang beliau contohkan. Kalimat itu terngiang-ngiang kembali di telinga saya. Cinta. Lagi-lagi karena alasan cinta mereka dengan ringan mampu berbuat sesuatu walaupun resikonya sangat tinggi. Karena cinta, mereka rela mengorbankan harta, tenaga, bahkan nyawa, demi sang kekasih yang dicintainya. Dan saya yakin cinta mereka-mereka yang telah mengenal Nabi itu bukanalah cinta buta. Tapi cinta yang dilandasi sesuatu keyakinan murni yang sangat kuat. Kembali saya meraba diri sendiri. Setelah agak sedikit mengenal, apakah saya lantas dengan mudah mencintai sang Nabi? Ya Allah, ternyata mencintai Nabi tak semudah mencintai orang tua, keluarga, atau tak semudah mencintai pasangan kita. Mencintai Nabi ternyata butuh konsekwensi diri yang luar biasa. Bahkan nabi sendiri, ketika ada seorang perempuan datang pada beliau, lantas perempuan itu mengungkapkan keinginannya untuk mencintai nabi setulus-tulusnya, Nabi justru balik bertanya. "Apakah sudah kau pikirkan dulu masak-masak? Sebab mencintai saya itu akan datang banyak cobaan. Dan datangnya cobaan itu seperti datangnya air bah," kata Nabi. Berarti mencintai nabi tidaklah semudah yang diomongkan lidah. Dan saya sendiri, merasa masih sangat tertatih-tatih dalam menuju derajat cinta Rasul. Sebab mencintai Rasul itu berarti mencintai Allah juga. Dan seandainya boleh saya mengibaratkan, Allah dan Rasul adalah dua sisi mata uang. Yang satupun tak boleh dihilangkan. Ya Rabbul Jalil, berilah saya kekuatan untuk mencintai Rasul dan mencintaiMu. Agar saya bisa dengan mudah melaksanakan apa yang Kau perintahkan dan menjauhi apa yang Kau larang. Dan saat-saat ini saya seringkali bertanya pada diri sendiri, sudah sejauh manakah saya mencintai Rasulullah SAW? Wallahu a'lam.

Selasa, 12 Mei 2009

Sang MAESTRO Dr (HC) Ary Ginanjar Agustian


Ary Ginanjar Agustian (Bandung, Jawa Barat, 24 Maret 1965) adalah seorang dosen, pengusaha, dan penulis buku ESQ dan ESQ power. Ary terkenal dengan pemikirannya yang diberi nama Emotional and Spiritual Quotient (ESQ), sebuah pemikiran yang menguak adanya korelasi yang sangat kuat antara dunia usaha, profesionalisme dan manajemen modern, dalam hubungannya dengan intisari al-Islam: rukun Iman dan rukun Islam.

Saat ini, Ary menjabat sebagai presiden direktur PT Arga Wijaya Persada, dan komisaris utama PT Arsa Dwi Nirmala yang berkedudukan di Jakarta. Disamping juga menjabat sebagai eksekutif vice president di JPC (Jakarta Professional Chapter) pada Junior Chamber International, suatu organisasi leadership international yang memiliki cabang di 124 negara.

Sang Maestro

Di balik keberhasilan ESQ yang fenomenal, tentulah berdiri seorang tokoh yang inovatif dan kreatif. Tokoh pencetus ide sekaligus pendiri ESQ Leadership Center adalah Ary Ginanjar Agustian.

Ary Ginanjar Agustian adalah seorang praktisi sejati yang berkiprah di dunia usaha dan terjun langsung ke dalam dunia bisnis yang kompetitif dan penuh tantangan. Belajar secara otodidak melalui berbagai teori dan literatur tentang bagaimana membangun sumber daya manusia.

Sebelum terjun secara total di bidang dunia usaha, Ary Ginanjar pernah menjadi pengajar tetap di Politeknik Universitas Udayana, Jimbaran, Bali selama lima tahun. Kuliah di Universitas Udayana, Bali; STP Bandung; dan Tafe College di Adelaide, South Australia.

Lewat perenungan akan perjalanan hidupnya dan telaah beragam pustaka, pada tahun 2001, ia menerbitkan karya tulis fenomenalnya ESQ, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Buku tersebut menjelaskan bahwa untuk membangun sumber daya manusia tak cukup hanya dengan intelektualitas –yang selama ini selalu diprioritaskan- tapi juga dibutuhkan mentalitas atau humanitas (EQ). Meski kedua hal tersebut cukup membuat orang sukses dalam hal materi dan sosial, namun manusia membutuhkan dimensi spiritualitas yang menjawab makna tertinggi kehidupan (SQ). Untuk menggabungkan berbagai potensi kecerdasan tersebut, Ary Ginanjar membuat konsep The ESQWay165. Buku selanjutnya yang ditulis berjudul Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power.

Pada awalnya Ary Ginanjar menjelaskan konsepnya melalui bedah buku dan ceramah di berbagai tempat secara cuma-cuma. Setelah berjalan sekian lama, penyampaian dengan metoda tersebut menghadapi berbagai kendala. Dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya, peserta selalu berganti, sehingga penyampaian materi tak pernah tuntas. Metoda ceramah juga dirasakan kurang efektif karena hanya memberi pemahaman dalam tataran intelektual, namun tidak menggugah emosi dan spiritual, sebagaimana yang diharapkannya.

Karena itu, Ary Ginanjar kemudian merombak metode penyampaiannya menjadi training 3 hari dengan dilengkapi oleh multimedia dan sound system. Untuk mendukung kegiatan pelatihan ini Ary Ginanjar mendirikan ESQ Leadership Center, yang merupakan lembaga pelatihan sumber daya manusia.

Keberhasilannya dalam memberikan motivasi dan semangat perubahan melalui buku serta training tersebut, membuat Ary Ginanjar terpilih sebagai salah satu The Most Powerful People and Ideas in Business 2004 oleh Majalah Swasembada. Ia juga terpilih menjadi Tokoh Perubahan 2005 oleh Koran Republika. Ia didaulat menjadi Pengurus Dewan Pakar ICMI periode 2005–2010.

Pada bulan Maret 2007, Ary Ginanjar juga telah berhasil memperkenalkan ESQ sehingga memukau sejumlah pakar Spiritual Quotient (SQ) dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Australia, Denmark, Belanda, Nepal dan India dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh The Oxford Academy of Total Intelligence di Inggris.

Hingga kini, Ary Ginanjar telah mencetak kader sekitar 100 trainer. Kepada para kadernya itu, Ary Ginanjar membina dan menurunkan seluruh ilmunya secara simultan melalui berbagai metoda: coaching, ToT, sistem mentor, CBT (computer based training), dll. Hingga awal 2009, bersama seluruh trainer, Ary Ginanjar telah memberikan training kepada lebih dari 600.000 orang.

Pada tanggal 17 Desember 2007, Ary Ginanjar dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa di bidang Pendidikan Karakter oleh Universitas Negeri Yogyakarta. Penghargaan ini menjadi indikator bahwa The ESQWay165 diterima di kalangan akademisi sebagai metoda yang tepat untuk membangun karakter.

Pada tahun 28 Oktober 2008, ia mendapat penghargaan dari Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) sebagai Pengembang Metoda ESQ dalam Meningkatkan Sumber Daya Manusia Menuju Indonesia Bermartabat. Sedangkan Majalah Biografi Politik menobatkan Ary Ginanjar sebagai Pemimpin Muda Berpengaruh 2008 dan pada akhir 2008, menjadi salah seorang pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) untuk periode 2008 – 2011.

Jumat, 01 Mei 2009

Training ESQ


“Training ESQ adalah sebuah fenomena. Menggugah dan mampu mengubah kehidupan menjadi lebih bermakna.”

Demikian kesimpulan salah seorang peserta yang telah mengikuti training ESQ.

ESQ memang bukan sekadar pelatihan kepemimpinan atau manajemen biasa. Training ini merupakan pelopor pelatihan sekaligus inovasi mutakhir yang mengasah sisi emosi dan spiritual untuk membangun karakter sumber daya manusia.

Selama ini konsep dan metoda untuk membangkitkan sumberdaya manusia di dalam dunia kerja dan kehidupan pribadi seringkali terpisah. ESQ menggabungkan tiga motivasi fisik, emosi, dan spiritual menjadi satu kekuatan dalam menggapai sukses baik dalam kehidupan sosial maupun spiritual.

Training ESQ membangkitkan suara hati atau nilai-nilai yang disebut 7 Budi Utama yaitu: Jujur, Tanggung Jawab, Visioner, Disiplin, Kerjasama, Adil, dan Peduli. Training ESQ juga membangkitkan kekuatan tersembunyi serta mengerahkan seluruh potensi dirinya untuk kehidupan dan pekerjaan yang lebih produktif.

ESQ hadir untuk siapa saja yang berkeinginan untuk membentuk karakter manusia paripurna. ESQ juga merupakan upaya untuk menjembatani rasionalitas dunia usaha dengan spirit ketuhanan sehingga melengkapi makna sukses dengan nilai-nilai spiritual yang mendalam, menuju esensi bahagia yang sesungguhnya.

Metodologi Training

Yang unik dan membedakan ESQ dari pelatihan lainnya adalah metodenya yang efektif dan komprehensif sehingga peserta merasakan pengalaman sebagaimana yang disampaikan dalam materi. Menggunakan teori Quantum Learning yaitu dengan cara merangsang seluruh indera penglihatan, pendengaran, serta menyeimbangkan antara kerja otak kanan dan otak kiri. Multimedia yang digunakan menggabungkan animasi, klip film, efek suara, musik. Ditampilkan dengan medium beberapa layar besar ukuran 4 x 6 m dengan tata suara sekitar 30.000 watt, sehingga dapat menghadirkan suasana alam (outdoor) ke dalam ruangan.

Sebagai materi pendukung, peserta juga akan diajak terlibat beberapa aktifitas dalam training seperti permainan, simulasi, serta saling berbagi pengalaman diantara peserta.

Indahnya Cinta karena Allah..


Sesungguhnya dalam Islam, cinta dan keimanan adalah ibarat dua sisi mata uang. Antara yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Cinta tidak dapat digambarkan tanpa iman. Dan iman pun tidak dapat dibayangkan tanpa cinta. Dengan cinta dan keimanan inilah hati setiap mukmin yang satu dengan lainnya terikat kuat. Bila mukmin yang satu sakit, maka mukmin yang lain pun merasakan hal yang sama. Karenanya, tak berlebihan bila seorang ulama Mesir yang telah syahid, Al Ustadz Imam Hasan Al-Banna mengatakan bahwa dengan dua sayap inilah Islam diterbangkan setinggi-tingginya ke langit kemuliaan. Bagaimana tidak, jikalau dengan iman dan cinta, persatuan ummat akan terbentuk dan permasalah pun akan terpecahkan. "Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rosul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Qs. At Taubah : 71). Hal itu juga tidak lain karena orang mukmin itu laksana sebuah bangunan. Bagian yang satu akan mengokohkan bagian yang lain. Sebaliknya, jika bagian yang satu hancur, maka yang lain pun akan merasakan kehancurannya. Karena itu, hadits Rasulullah saw juga menegaskan: "Gambaran orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi, dan saling berempat di antara sesama mereka adalah laksana satu tubuh, jika ada sebagian dari anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuh akan ikut merintih, merasakan demam, dan tak bisa tidur." Sejarah Islam telah menggoreskan pena emasnya, betapa para generasi pendahulu kita mempunyai kehidupan yang sangat mulia dan jarang kita temui dalam kehidupan kita saat ini. Mereka selalu saling tolong menolong, sepenanggungan dalam suka dan duka, mempunyai rasa empati yang tinggi, dan selalu mengutamakan kepentingan saudara seimannya daripada kepentingannya sendiri (itsar). Abu Bakar as Shiddiq, misalnya, beliau rela menginfaqkan seluruh hartanya demi kejayaan Islam. Ketika Rasulullah saw menanyakan pada beliau, "Harta apakah yang kamu tinggalkan untuk anak-anakmu?" Beliau menjawab, "Saya tinggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka." Karena kedermawanan dan keikhlasan Abu Bakar inilah, maka Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada harta seorang pun yang memberikan manfaat kepadaku melebihi harta Abu bakar." Kaum Anshor pun tak kalah tingginya memiliki sifat itsar. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa suatu hari kaum Anshor datang menemui Rasulullah saw mengutarakan pendapatnya, "Wahai Rosulullah bagilah menjadi dua tanah yang kami miliki untuk kami dan saudara kami muhajirin". Rasulullah menjawab, "Jangan lakukan itu, tapi cukupilah kebutuhan mereka dan bagilah hasil panen kepada mereka. Sesungguhnya tanah ini adalah milik kalian". Maka kaum Ansor berkata, "kami ridho atas keputusan engkau wahai Rasulullah." Dalam kisah lain juga disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw menawarkan kepada para sahabat, siapakah di antara mereka yang bersedia menjamu tamu Rasulullah saw, maka salah seorang dari kaum Anshor berdiri dan menyatakan kesediaannya. Padahal, ketika ia pergi enemui keluarganya, teryata istrinya mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai makanan, kecuali untuk anak-anaknya. Maka, orang Anshor ini mengatakan kepada istrinya, "Kalau begitu, bila anak-anak hendak makan malam, tidurkanlah mereka. Dan kemarilah kamu, matikan lampu, tidak apa-apa kita tidak makan pada malam ini." Pagi-pagi sekali, ketika orang Anshor ini datang kepada Rasululloh saw, bersabdalah beliau, "Allah kagum atas perbuatan si fulan dan fulanah." Maka Alloh swt berfirman: "Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Qs.Al Hasyr :9). Akhlaq mulia kaum Anshor dalam mengutamakan kepentingan kaum muhajirin tidak hanya sampai di situ. Dalam hadits disebutkan bahwa kaum Anshor berkata kepada kaum Muhajirin agar mereka memilih salah satu dari dua istrinya yang mereka senangi. Kemudian kaum Anshor akan menceraikan istri tersebut lalu menikahkannya dengan istri yang telah diceraikannya itu. Sifat itsar juga melahirkan refleks-refleks yang tidak dibuat-buat, tapi murni dari hati yang salim (bersih). dalam satu peperangan dikisahkan, seorang mukmin terkena pukulan pedang musuh di tengkuknya. Ia tidak berteriak atau mengaduh karena sakit, tapi ia langsung jatuh tersungkur dan pada akhirnya syahidnya menjemputkan . Tetapi yang menakjubkan ketika mukmin itu terpukul pedang tersebut, justru mukmin lain yang melihatnya lah yang mengaduh kesakitan dan merasakan perihnya ketajaman pedang menembus tubuhnya, seakan-akan pukulan itu mengenai dirinya. Dan ucapan yang terlontar dari mulut mukmin yang mengaduh tersebut adalah, "Saudaraku, engkau mendahuluiku menuju surga!" Ucapan itu merupakan refleksi kebahagiaan dari seorang mukmin melihat indahnya ‘masa depan’ yang akan dialami oleh mukmin lainnya. Kisah lain yang tak kalah mengesankan indahnya ukhuwah adalah suatu ketika sepasukan dari kaum muslimin keluar untuk berperang. Posisi antara pasukan kaum muslimin dengan musuh terbatasi oleh sebuah sungai. Kedua pasukan tersebut saling berhadapan. Komandan pasukan muslim berkata, "Bagaimana pendapat kalian menghadapi musuh-musuh kalian, sementara mereka bisa memperoleh perbekalan dan air tanpa harus susah payah? Bagaimana pendapat kalian?" Salah seorang dari mereka kemudian menjawab, "Kita seberangi saja sungai ini, lalu kita perangi mereka di tempat mereka berada." Mereka pun akhirnya menceburkan diri bersama kuda-kuda mereka melintasi sungai agar dapat bertempur dengan musuh. Di depan mereka terlihat pasukan musuh sudah siap siaga untuk menghunuskan pedang mereka. Tiba-tiba, salah seorang di antara pasukan kaum muslimin ada yang berteriak, "Qab (Kantung air bejana yang terbuat dari kayu) –ku……… Qab-ku…jatuh ke air". Sang komandan pun berkata, "Carilah dulu Qab milik saudara kalian yang hilang". Mereka pun sibuk mencarinya. Sementara, pasukan musuh sedang menanti mereka dan kematian pun mengitari kepala mereka. Ketika komandan pasukan musuh itu melihat perilaku pasukan muslim, ia berkata, "Apa-apaan mereka itu?" Bawahannya menjawab, "Salah seorang dari mereka kehilangan Qab-nya, dan mereka pun sibuk mencarinya." Komandan ini pun berkata, "Jika karena masalah Qab saja mereka sudah seperti itu, lalu bagaimana jika kalian membunuh salah seorang saja dari mereka? Pasukan.......! Berdamai sajalah dengan mareka sesuai dengan apa yang mereka inginkan!" Subhanallah, demikianlah sejarah kaum salaf telah memperlihatkan kepada kita bahwa kumpulan manusia itu seluruhnya adalah laksana satu tubuh, melakukan aktivitas yang satu, serta merasakan perasaan yang sama, walau pun dalam kondisi yang teramat sulit. Dan Betapa 'pancaran ukhuwah' saja telah mampu mengalahkan musuh dan memenangkan kaum mukminin, sekaligus menaklukkan kota itu. Itulah buah dari persaudaraan dan kesatuan yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Kemesraan ukhuwah seperti itu tidaklah terbentuk begitu saja, sikap takaful (saling membantu) yang mereka lakukan terbentuk karena ada proses lain yang sebelumnya mereka jalin. Kemesraan ukhuwah tersebut mereka mulai melalui proses ta’aruf atau saling mengenal. Dari mulai fisik, karakter, kadar keseriusan taqarruf (kedekatan) pada Allah, kesenangannya, latar belakang keluarga, dan sebagainya. Ta’aruf yang baik akan meminimalisir kekeringan dan keretakan hubungan sesama muslim. Ia juga dapat membuat hati menjadi lembut serta mampu melenyapkan bibit perpecahan. Bila wilayah ta’aruf telah terbentang, maka akan tumbuh sifat tafahum (saling memahami). Sikap tafahum akan menjaga kesegaran dalam berukhuwah. Karena, ketika keterpautan hati telah terjalin maka timbul sikap saling toleransi, dan saling kompromi pada hal-hal yang mubah (boleh) sehingga akan membuat hubungan satu sama lain menjadi lebih harmonis. Puncak tafahum adalah ketika seorang mukmin dengan mukmin lainnya dapat berbicara dan berpikir dengan pola yang sama. Setelah dua proses itu berjalan barulah terbentuk sikap takaful yang darinya lahir sifat itsar, puncak amal ukhuwah Islamiyah. Sungguh, kemesraan 'pancaran ukhuwah' yang telah dicontohkan oleh generasi dahulu adalah ukhuwah Islamiyah yang tak lapuk oleh waktu dan musim. Ia akan panjang usia dan kekal hingga hari akhirat kelak. Oleh karenanya, patutlah kita bercermin pada generasi awal Islam dan para salafussalih dalam berukhuwah. Dengan demikian, 'pancaran ukhuwah' yang demikian tingginya dimiliki oleh mereka, tidaklah sekedar menjadi kisah yang sering kita dengar dan kita baca, tetapi juga menjadi bagian dari hidup kita, Insya Allah. "Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para Nabi dan syuhada’, tetapi para Nabi dan Syuhada’ iri pada mereka. "Ketika ditanya oleh para sahabat, Rosulullah saw menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling kunjung karena Allah". (HR. Tirmidzi). Wallahu’alam bishshowaab